Villa Mei Ling

e8476f7c86be4cccbe1ccd8c857119aa

Ini adalah panorama Bandung Utara pada tahun 1930an, bangunan bertingkat berwarna putih itu adalah sebuah rumah…iya sebuah rumah bernama Villa Mei Ling.

Tergerak hati untuk mencari cerita mengenai villa ini ketika sebuah instagram account yang membahas bangunan lama di kota Bandung, dan semakin penasaran ingin mengunjungi Villa Mei Ling bergaya Art Deco ini.

Kembali ke foto diatas, seperti time machine yang membawa Saya berandai-andai, bagaimana gedung itu berdiri dilahan luas di sebuah bukit yang bisa melihat hamparan pemandangan indah kota Bandung pada masa itu, layaknya Villa Isola di Lembang yang pernah Saya ceritakan dahulu.

bandung-jalan-siliwangi

Villa Mei Ling, dibangun pada tahun 1930 – 1931, pemiliknya adalah a prominent resident of Bandung pada masa itu keturunan Tionghoa bernama Hok Hoei Kan (H. H Kan), berdiri disebuah bukit kecil, diapit oleh Jalan Sangkuriang dan Jalan Babakan Siliwangi kalau sekarang.

Villa Mei Ling dirancang oleh arsitek kenamaan pada masa itu yakni F. W. Brinkman dengan langgam Art Deco, beliau sudah banyak merancang berbagai bangunan cantik di Bandung, seperti Bioskop Elita dan Oriental (sekarang sudah tidak ada), gedung sekolah MULO dan lain sebagainya.

Jika memperhatikan bangunannya sendiri Villa Mei Ling ini memang sengaja dibangun oleh pemiliknya agak mereka bisa tetirah jauh dari kehidupan Batavia pada masa itu, udara yang sejuk, berada di ketinggian, membuat villa ini menjadi tempat sangat ideal untuk beristirahat.

villa mei ling1.JPG

Nama Mei Ling sendiri diambil/terinspirasi dari nama istri dari Chiang Kai Sek – Presiden dari Republik Cina (Taipei),  Mei Ling Soong (Sung).  Hal menarik lainnya adalah bahwa Villa Mei Ling ini oleh sang pemilik diisi dengan brang-barang antik, yang dikumpulkan dari berbagai negeri, sehingga selain rumah tinggal Villa Mei Ling juga direncanakan menjadi gallery atau bahkan museum, hanya sayang, pada saat Jepang kalah kemudian sang pemilik Villa Mei Ling bisa kembali mendapatkan villa nya tapi tak lama kemudian pihak tentara Kerajaan Inggris mengambil alih Villa Mei Ling ketika mereka ingin kembali menguasai Bandung, sekitar 34 truk mengangkut barang-barang antik tersebut sampai-sampai gagang pintu bergaya Art Deco pun mereka ambil.

Villa Mei Ling ini terletak diantara Lamminga Weg atau sekarang Jalan Sangkuriang dan juga Dr. De Groote Weg alias Jalan Babakan Siliwangi, sampai sekarang jika melewati Jalan Babakan Siliwangi,kita masih bisa menyaksikan dam atau irigasi kecil dibawahnya,  pas sebelum Teras Cikapundung sekarang.

Villa Me Ling memiliki interior Art Deco yang sangat kuat,menyesuaikan dengan bagian exteriornya, design interior diserahkan juga kepada Brinkman dan partner beliau yakni insinyur Voorhoeve, contoh yang paling menarik untukdiperhatikan adalah deretan pagar pembatas di tangga dan juga kaca patri yang memiliki 3 panel bergambar flora bergaya Art Deco.

villa mei ling2

Pemilik Villa Mei Ling yakni H.H. Kan tidak pernah berpikir bahwa Villa Mei Ling akan menjadi bagian dari sejarah Indonesia, bagaimana tidak,ketika Jepang menjatuhkan bom ke Gedung Pakuan yang merupakan tempat tinggal Residen Priangan kala itu, memaksa Gubernur Jendral Hindia Belanda terakhir yang kala itu sedang mengungsi di Bandung setelah Batavia menyerahkan diri kepada Jepang pada 5 Maret 1942, yakni  A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer kemudian beliau mengungsi ke Villa Mei Ling, hingga mulai 8 Maret 1942 Villa Mei Ling dijadikan kamp untuk penahanan para pejabat senior Hindia Belanda saat itu.

Di Villa  Mei Ling ini pun Gubernur Jenderal Tjarda kemudian menerima ultimatum yang berujung pada perundingan Kalidjati yang mengakhiri penjajahan Belanda selama 350 tahun di Indonesia.

Sekarang rumah megah ini tetap lestari walaupun sudah tidak dimiliki oleh keturunan dari Hok Hoei Kan, rumah ini menjadi kantor dari Dinas Psikologi TNI Angkatan Darat.

Semoga rumah indah sarat cerita ini tetap lestari!

(Cerita diambil dari berbagai sumber termasuk catatan keturunan Hok Hoei Kan yakni Sioe Yao Kan)

 

 

Once Upon A Time in Little Tiongkok

IMG_2291[1]

Last day in Lasem, we were paying homage to the oldest temple called Cu An Kiong, terletak di dekat sungai Babagan, kiranya ada alasan mengapa Klenteng ini dibangun disini dikarenakan ini adalah akses masuk pertama kali ke Lasem, di sungai Babagan inilah tempat bongkar muat dilakukan sepertinya.

Dahulu kala berdasakan beberapa artikel yang sempat Saya baca, Klenteng ini dibangun diatas hutan jati, dan merupakan sebagai penghormatan kepada Dewi Samudera (Thian Tiang Seng Bo) karena mereka diberi keselamatan di laut sehingga bisa mendarat dengan selamat di Lasem.

IMG_2301[1]

Bangunan Klenteng ini praktis tidak mengalami perubahan berarti sejak di renovasi pada tahun 1838, sejarah mencatat bahwa Klenteng ini dibangun pada abad ke-15, dimana pertama kali para perantau dari Negeri Tiongkok berlabuh, tercatat pada tahun 1477 Klenteng ini di bangun, berdasarkan catatan di sebuah museum di Den Haag, Belanda, catatan ini dimiliki oleh Belanda dikarenakan pada masa penjajahan sempat terjadi penjarahan besar-besaran termasuk catatan penting sejarah pendirian Klenteng ini.

Beruntung sekali ketika Saya datang, sedang tidak ada pengunjung lain, jadi bisa benar-benar merasakan indahnya bangunan ini secara tenang dan pelan, Klenteng ini ketika datang hanya dijaga oleh seorang wanita paruh baya yang kami panggil Oma.

Tipikal Klenteng Cina, banyak di dominasi warna merah dan emas, semua detail masih sangat terjaga dengan baik, indah dan indah sekali, daun pintu, kisi-kisi ventilasi, dinding semua dibuat dengan detail yang mumpuni.

IMG_2387[1]

Ada dua bagian dinding yang dihiasi mural yang cukup massive, dinding di area altar bergambar para Dewa, sedangkan area depan mural berupa cerita 100 panel komik “Kisah Mitologi Dewa-Dewa Taois” karya Xu Zhonglin atau dikenal dengan komik Fengshen Yanyi (National Geographic).

IMG_2294[1]

Klenteng ini penuh dengan makna simbolik, dilihat dari hiasan-hiasan yang terdapat pada pahatan maupun gambar-gambar mural, I wish I could tell more about this.

Yang unik dari Klenteng ini adalah disetiap ulang tahun Klenteng, hampir dipastikan selalu ada orkes gamelan Jawa, ini merupakan bentuk akulturasi yang luar biasa dari masyarakat pendatang dan Lasem itu sendiri.

IMG_2314[1]

I was so happy that on my last day in Lasem finally I could pay homage and admiring this Klenteng, the oldest Klenteng in Java, yang penuh dengan cerita waiting to be unfold!

 

Perhaps They Are Not Bored, Perhaps Because It Feeds Their Soul…

IMG_2350[2]

December 2017, Saya berkunjung ke sebuah tempat pembuatan batik bernama Batik Nyah Kiok.  Berada di sebuah rumah tua bergaya khas Peranakan Lasem, batik ini sudah berproduksi sejak lama sekali, hanya membuat satu motif batik saja yakni motif batik Gunung Ringgit Pring dan dikerjakan oleh 7 perempuan saja.

Ketika masuk ke rumah tua dan teras belakang melalui gang disebelah kanan bangunan utama, kebetulan sekali keadaan sedang sepi, hanya Ibu Ibu pekerja Batik Nyah Kiok dan kami bertiga, there was a somehow poetic atmosphere when you entered this particular house and area, the smell of those wax, the cloths and of course batik.  They were so quiet, no music, no chit chat only focus on their on part.

“Ibu kok sepi sekali, gak ada musik atau apa? Gak bosan Bu?” tanya Saya pada Ibu Ibu, dibalas dengan senyuman dan bahasa Jawa yang saya sendiripun mboten ngertos alias kurang mengerti, tapi kurang lebih seperti ini “Kadang kami mendengarkan Radio sambil bekerja!”

IMG_2467[2]

Kemudian Saya memberanikan diri untuk memutarkan lagu, sebuah lagu Perancis dari Edith Piaf, memecah keheningan siang itu…senang rasanya melihat Ibu Ibu ini tersenyum, sambil tangan dan pikirannya tetap pada kain-kain tersebut, saat itupun Saya kemudian mengambil salah satu kain dan berputar-putar bermain dengan Gunung Ringgit Pring, sontak disambut dengan tawa kecil Ibu Ibu ini, “Wah Saya senang sekali jadi ramai dan bisa tertawa-tawa!” begitu kira-kira reaksi dari Ibu Ibu ini.

Many of them has been work so many years, some can be 30 to 60 years of dedication, can you imagine everyday you come to the same place, doing the same thing over and over and over again for so many years…my judgmental mind commenting “Gosh must be be bored ya, making same motif for so many times so many years!”

IMG_2413[1]Batik Nyah Kiok, amat sangat mempertahankan ke-khas-an dari warna Laseman, sedikit berbeda dengan rumah batik lainnya yang berusaha untuk mengikuti permintaan pasar, dihimpun dari berbagai sumber, ada warna-warna khas dari Batik Lasem ini yang tetap dipertahankan oleh Batik Nyah Kiok, abang getih pitik (merah darah ayam), biru tua, hijau dan warna cokelat.

8 bulan hingga 1 tahun pembuatan sehelai Batik Nyah Kiok ini, dedikasi yang luar biasa, dikarenakan hanya 7 perempuan hebat ini yang mengerjakan dari mulai menggambar, proses canting, nglorod, mencuci dan lainnya, bayangkan, sehelai kain selama kurang lebih setahun, a lifetime dedication!

IMG_2483[2]

Meraba helai kain Batik Nyah Kiok ini, takes you back to how hard it is the work they put into a single sheet of kain, the effort and times and the patient.

Membuat Saya berpikir kembali, dan sampai pada saat Saya ketika mencritakan kepada salah satau sahabat saya Wenni mengenai batik ini dan bagaimana Ibu Ibu ini bisa bertahan mengerjakan hal yang sama, over and over and over again for so many years…she told me “Mungkin, pekerjaan nya ini bukan hanya pekerjaan but also feeding their soul!”

IMG_2471[1]

Blessed you Ibu Ibu di Batik Nyah Kiok, your dedication to your work especially the existence of Batik, has taught me something…”To always find a job that feed your soul!” and I will for sure…Matur Nuwun Ibu once again!

 

Home Away From Home…Pesanggrahan Ambarukmo

Ada satu tempat yang syarat sejarah di Ngayogyakarta Hadiningrat yang seringkali luput dari perhatian wisatawan yang berkunjung ke kota ini, mungkin karena posisinya yang odd berada diantara dua bangunan “baru” yakni Ambarukmo Plasa dan Hotel Royal Ambarukmo, atau karena terletak diluar area Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, pertama kali Saya mengunjungi tempat inipun I thought I was stumbled upon some a replica of Javanese mansion for the sake of preserving the culture itself, but then if you dig down a bit from here and there you’ll find an amazing stories lies on this majestic retreat mansion away from the hustle bustle of courtier life.

IMG_2632[1]

Area Pesanggrahan Ambarukmo memiliki sejarah yang cukup panjang bahkan dimulai sejak Sultan Hamengku Buwana II, dahulu merupakan tempat istirahat tamu-tamu Sultan sebelum kemudian datang berkunjung ke Keraton, hingga pada tahun 1859 dilakukan renovasi pada pendopo utama dan keseluruhan pesanggrahan ini hingga pada tahun 1897 oleh Sultan Hamengku Buwana VII.

IMG_2597[1]

Pesanggrahan Ambarukmo merupakan kediaman terakhir dari Sultan Hamengku Buwana VII setelah beliau turun takhta pada tahun 1920 dan kemudian memutuskan untuk hidup di luar tembok Keraton, dan kemudian beliau digantikan oleh Putra nya bernama GPH Purubaya atau Purbaya.

Hal yang menarik adalah intrik dari pengangkatan pengganti dari Sultan Hamengku Buwana VII ini, dikarenakan sebelum pada akhirnya jatuh ke tangan GPH Purbaya sebelumnya penerus takhta Sultan Hamengku Buwana VII adalah Gusti Raden Mas Achadiyat, Putera Mahkota pertama, beliau meninggal tidak lama setelah pengangkatannya menjadi Putra Mahkota dengan gelar KGP Adipati Anom Hamangkunegara I, kemudian gelar Putra Mahkota diserahkan kepada KGP Adipati Juminah hanya saja gelar tersebut dicabut dikarenakan alasan kesehatan, kemudian jatuh ke putera beliau yang lain yakni Gusti Raden Mas Putro hanya sayang GRM Putro pun meninggal setelah pengangkatan menjadi Putera Mahkota.

I do think this grand mansion meant to be as a place that home away from home, the scale obviously much smaller than the Keraton itself, but it has all you need as former Sultan to stay and unwind from the hustle and bustle of the Keraton life!

Struktur yang dimiliki oleh bangunan inipun tentu mengadaptasi rumah bangsawan Jawa atau keraton, dengan pendopo yang cantik, main house and other facilities such as bedrooms for the princes and princesses…even Sultan Hamengku Buwana VII he had his own meditation area called Bale Kambang, built just behind the main house surrounded by ponds, a floated pavilion…

Now this Pesanggrahan has become a Museum and also a spa ran by the current Sultan’s Princesses

Kaca Patri di Lawang Sewu

COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Het_hoofdkantoor_van_de_Nederlandsch-Indische_Spoorweg_Maatschappij_(NIS)_in_Semarang_TMnr_10032316

Lawang Sewu, sebuah bangunan megah di Semarang bekas kantor Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij atau NIS mulai dibangun pada tahun 1904 dan selesai pada tahun 1907.

Arsitek terpilih adalah duo arsitek berasal dari Amsterdam, Negeri Belanda, bernama Prof. Jacob F. Klinkhamer dan B.J. Quendag, keseluruhan desain dibuat di Amsterdam dan kemudian dikirim ke Semarang untuk dieksekusi, bangunan megah ini memiliki fungsi sebagai kantor Jawatan Kereta Api yang memiliki rute-rute di yang menghubungkan Semarang dengan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta area dan di tahun 1873 menghubungkan Stasiun Willem I Ambarawa dengan Kedngjati dan Batavia.

Bangunan ini memiliki selasar-selasar yang indah, dan kemudian berhasil di konservasi dengan amat sangat baik oleh PT. KAI dan sekarang dijadikan objek wisata sejarah dan arsitektur di Semarang, satu hal yang menurut saya bagian paling menarik dan indah di gedung ini adalah kaca patri atau stained-glass window-nya yang berwarna warni dan memiliki gambar dan cerita menarik.

IMG_2142[1]

Let’s retell the story of this amazing stained-glass, story about how prosper and beautiful is Nusantara or Dutch East Indies at that time, cerita tentang indahnya Nusantara beserta flora dan fauna-nya dan betapa hebatnya dua kota besar saat itu yakni Semarang dan Batavia penyokong perekonomian Amsterdam khususnya.

Jika diperhatikan lebih lama, bagian kiri dari panel kaca patri ini bercerita tentang keindahan dan kesuburan Pulau Jawa dengan flora dan fauna-nya, pada waktu itu dibuatlah jalur kereta api pertama di Nusantara yang menghubungkan antara Semarang – Solo – Yogyakarta pada tahun 1873 yang tentunya melewati wilayah yang indah dan permai sepanjang perjalanan tersebut.

IMG_2146[1]

Sementara itu pada panel kanan atas menceritakan tentang dua kota besar penyokong perekonomian Amsterdam, yakni Semarang & Batavia, pada masa itu di dua kota inilah terletak pelabuhan besar yang menghubungkan Nusantara dan Negeri Belanda, dari kedua pelabuhan inilah komoditas terbaik di dunia di angkut dan kemudian untuk dijual demi kemakmuran Amsterdam pada khususnya dan Negeri Belanda pada umumnya.

IMG_2152[1]

Bagian tengah yang merupakan bagian terbesar bercerita tentang bandar bandar terbesar di Nusantara yakni Semarang dan Batavia, betapa kuat nya mereka sebagai pintu masuk ke Nusantara bahkan sejak jaman Mataram Kuno, Terdapat lambang kota Semarang dan kota Batavia mengapit lambang kerajaan Belanda dan gambar sepertinya buah pala.

IMG_2145[1]

Bagian tengah lainnya adalah bagian dimana terdapat gambar roda kereta apri bersayap, yang merupakan simbol dari perusahaan jawatan kereta api pada masa itu, menggambarkan pergerakan dan teknologi pada saat itu, roda terbang tersebut diapit oleh dua perempuan bermata sayu, yang merpakan simbol dari Dewi Fortuna atau Dewi Keberuntungan dan Dewi Venus yang menggambarkan kasih sayang dan cinta, dan hal ini merupakan simbol dari Ibu Pertiwi.

IMG_2141[1]

Kaca patri ini di produksi disebuah kota di Negeri Belanda bernama Delft oleh seorang seniman kaca patri terkenal pada saat itu yakni  J.L. Schouten dari studio seni kaca patri T. Prinsenhof pada awal tahun 1900an.

IMG_2143[1]

Go and find yourself dreaming and wandering by looking at this majestic artwork, best time to go is early morning, when there are still few people and when the sun rays bursting into this stained-glass panels, simply stunning…may this building lived forever!