Last day in Lasem, we were paying homage to the oldest temple called Cu An Kiong, terletak di dekat sungai Babagan, kiranya ada alasan mengapa Klenteng ini dibangun disini dikarenakan ini adalah akses masuk pertama kali ke Lasem, di sungai Babagan inilah tempat bongkar muat dilakukan sepertinya.
Dahulu kala berdasakan beberapa artikel yang sempat Saya baca, Klenteng ini dibangun diatas hutan jati, dan merupakan sebagai penghormatan kepada Dewi Samudera (Thian Tiang Seng Bo) karena mereka diberi keselamatan di laut sehingga bisa mendarat dengan selamat di Lasem.
Bangunan Klenteng ini praktis tidak mengalami perubahan berarti sejak di renovasi pada tahun 1838, sejarah mencatat bahwa Klenteng ini dibangun pada abad ke-15, dimana pertama kali para perantau dari Negeri Tiongkok berlabuh, tercatat pada tahun 1477 Klenteng ini di bangun, berdasarkan catatan di sebuah museum di Den Haag, Belanda, catatan ini dimiliki oleh Belanda dikarenakan pada masa penjajahan sempat terjadi penjarahan besar-besaran termasuk catatan penting sejarah pendirian Klenteng ini.
Beruntung sekali ketika Saya datang, sedang tidak ada pengunjung lain, jadi bisa benar-benar merasakan indahnya bangunan ini secara tenang dan pelan, Klenteng ini ketika datang hanya dijaga oleh seorang wanita paruh baya yang kami panggil Oma.
Tipikal Klenteng Cina, banyak di dominasi warna merah dan emas, semua detail masih sangat terjaga dengan baik, indah dan indah sekali, daun pintu, kisi-kisi ventilasi, dinding semua dibuat dengan detail yang mumpuni.
Ada dua bagian dinding yang dihiasi mural yang cukup massive, dinding di area altar bergambar para Dewa, sedangkan area depan mural berupa cerita 100 panel komik “Kisah Mitologi Dewa-Dewa Taois” karya Xu Zhonglin atau dikenal dengan komik Fengshen Yanyi (National Geographic).
Klenteng ini penuh dengan makna simbolik, dilihat dari hiasan-hiasan yang terdapat pada pahatan maupun gambar-gambar mural, I wish I could tell more about this.
Yang unik dari Klenteng ini adalah disetiap ulang tahun Klenteng, hampir dipastikan selalu ada orkes gamelan Jawa, ini merupakan bentuk akulturasi yang luar biasa dari masyarakat pendatang dan Lasem itu sendiri.
I was so happy that on my last day in Lasem finally I could pay homage and admiring this Klenteng, the oldest Klenteng in Java, yang penuh dengan cerita waiting to be unfold!
December 2017, Saya berkunjung ke sebuah tempat pembuatan batik bernama Batik Nyah Kiok. Berada di sebuah rumah tua bergaya khas Peranakan Lasem, batik ini sudah berproduksi sejak lama sekali, hanya membuat satu motif batik saja yakni motif batik Gunung Ringgit Pring dan dikerjakan oleh 7 perempuan saja.
Ketika masuk ke rumah tua dan teras belakang melalui gang disebelah kanan bangunan utama, kebetulan sekali keadaan sedang sepi, hanya Ibu Ibu pekerja Batik Nyah Kiok dan kami bertiga, there was a somehow poetic atmosphere when you entered this particular house and area, the smell of those wax, the cloths and of course batik. They were so quiet, no music, no chit chat only focus on their on part.
“Ibu kok sepi sekali, gak ada musik atau apa? Gak bosan Bu?” tanya Saya pada Ibu Ibu, dibalas dengan senyuman dan bahasa Jawa yang saya sendiripun mboten ngertos alias kurang mengerti, tapi kurang lebih seperti ini “Kadang kami mendengarkan Radio sambil bekerja!”
Kemudian Saya memberanikan diri untuk memutarkan lagu, sebuah lagu Perancis dari Edith Piaf, memecah keheningan siang itu…senang rasanya melihat Ibu Ibu ini tersenyum, sambil tangan dan pikirannya tetap pada kain-kain tersebut, saat itupun Saya kemudian mengambil salah satu kain dan berputar-putar bermain dengan Gunung Ringgit Pring, sontak disambut dengan tawa kecil Ibu Ibu ini, “Wah Saya senang sekali jadi ramai dan bisa tertawa-tawa!” begitu kira-kira reaksi dari Ibu Ibu ini.
Many of them has been work so many years, some can be 30 to 60 years of dedication, can you imagine everyday you come to the same place, doing the same thing over and over and over again for so many years…my judgmental mind commenting “Gosh must be be bored ya, making same motif for so many times so many years!”
Batik Nyah Kiok, amat sangat mempertahankan ke-khas-an dari warna Laseman, sedikit berbeda dengan rumah batik lainnya yang berusaha untuk mengikuti permintaan pasar, dihimpun dari berbagai sumber, ada warna-warna khas dari Batik Lasem ini yang tetap dipertahankan oleh Batik Nyah Kiok, abang getih pitik (merah darah ayam), biru tua, hijau dan warna cokelat.
8 bulan hingga 1 tahun pembuatan sehelai Batik Nyah Kiok ini, dedikasi yang luar biasa, dikarenakan hanya 7 perempuan hebat ini yang mengerjakan dari mulai menggambar, proses canting, nglorod, mencuci dan lainnya, bayangkan, sehelai kain selama kurang lebih setahun, a lifetime dedication!
Meraba helai kain Batik Nyah Kiok ini, takes you back to how hard it is the work they put into a single sheet of kain, the effort and times and the patient.
Membuat Saya berpikir kembali, dan sampai pada saat Saya ketika mencritakan kepada salah satau sahabat saya Wenni mengenai batik ini dan bagaimana Ibu Ibu ini bisa bertahan mengerjakan hal yang sama, over and over and over again for so many years…she told me “Mungkin, pekerjaan nya ini bukan hanya pekerjaan but also feeding their soul!”
Blessed you Ibu Ibu di Batik Nyah Kiok, your dedication to your work especially the existence of Batik, has taught me something…”To always find a job that feed your soul!” and I will for sure…Matur Nuwun Ibu once again!
Ada satu tempat yang syarat sejarah di Ngayogyakarta Hadiningrat yang seringkali luput dari perhatian wisatawan yang berkunjung ke kota ini, mungkin karena posisinya yang odd berada diantara dua bangunan “baru” yakni Ambarukmo Plasa dan Hotel Royal Ambarukmo, atau karena terletak diluar area Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, pertama kali Saya mengunjungi tempat inipun I thought I was stumbled upon some a replica of Javanese mansion for the sake of preserving the culture itself, but then if you dig down a bit from here and there you’ll find an amazing stories lies on this majestic retreat mansion away from the hustle bustle of courtier life.
Area Pesanggrahan Ambarukmo memiliki sejarah yang cukup panjang bahkan dimulai sejak Sultan Hamengku Buwana II, dahulu merupakan tempat istirahat tamu-tamu Sultan sebelum kemudian datang berkunjung ke Keraton, hingga pada tahun 1859 dilakukan renovasi pada pendopo utama dan keseluruhan pesanggrahan ini hingga pada tahun 1897 oleh Sultan Hamengku Buwana VII.
Pesanggrahan Ambarukmo merupakan kediaman terakhir dari Sultan Hamengku Buwana VII setelah beliau turun takhta pada tahun 1920 dan kemudian memutuskan untuk hidup di luar tembok Keraton, dan kemudian beliau digantikan oleh Putra nya bernama GPH Purubaya atau Purbaya.
Hal yang menarik adalah intrik dari pengangkatan pengganti dari Sultan Hamengku Buwana VII ini, dikarenakan sebelum pada akhirnya jatuh ke tangan GPH Purbaya sebelumnya penerus takhta Sultan Hamengku Buwana VII adalah Gusti Raden Mas Achadiyat, Putera Mahkota pertama, beliau meninggal tidak lama setelah pengangkatannya menjadi Putra Mahkota dengan gelar KGP Adipati Anom Hamangkunegara I, kemudian gelar Putra Mahkota diserahkan kepada KGP Adipati Juminah hanya saja gelar tersebut dicabut dikarenakan alasan kesehatan, kemudian jatuh ke putera beliau yang lain yakni Gusti Raden Mas Putro hanya sayang GRM Putro pun meninggal setelah pengangkatan menjadi Putera Mahkota.
I do think this grand mansion meant to be as a place that home away from home, the scale obviously much smaller than the Keraton itself, but it has all you need as former Sultan to stay and unwind from the hustle and bustle of the Keraton life!
Struktur yang dimiliki oleh bangunan inipun tentu mengadaptasi rumah bangsawan Jawa atau keraton, dengan pendopo yang cantik, main house and other facilities such as bedrooms for the princes and princesses…even Sultan Hamengku Buwana VII he had his own meditation area called Bale Kambang, built just behind the main house surrounded by ponds, a floated pavilion…
Now this Pesanggrahan has become a Museum and also a spa ran by the current Sultan’s Princesses
Lawang Sewu, sebuah bangunan megah di Semarang bekas kantor Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij atau NIS mulai dibangun pada tahun 1904 dan selesai pada tahun 1907.
Arsitek terpilih adalah duo arsitek berasal dari Amsterdam, Negeri Belanda, bernama Prof. Jacob F. Klinkhamer dan B.J. Quendag, keseluruhan desain dibuat di Amsterdam dan kemudian dikirim ke Semarang untuk dieksekusi, bangunan megah ini memiliki fungsi sebagai kantor Jawatan Kereta Api yang memiliki rute-rute di yang menghubungkan Semarang dengan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta area dan di tahun 1873 menghubungkan Stasiun Willem I Ambarawa dengan Kedngjati dan Batavia.
Bangunan ini memiliki selasar-selasar yang indah, dan kemudian berhasil di konservasi dengan amat sangat baik oleh PT. KAI dan sekarang dijadikan objek wisata sejarah dan arsitektur di Semarang, satu hal yang menurut saya bagian paling menarik dan indah di gedung ini adalah kaca patri atau stained-glass window-nya yang berwarna warni dan memiliki gambar dan cerita menarik.
Let’s retell the story of this amazing stained-glass, story about how prosper and beautiful is Nusantara or Dutch East Indies at that time, cerita tentang indahnya Nusantara beserta flora dan fauna-nya dan betapa hebatnya dua kota besar saat itu yakni Semarang dan Batavia penyokong perekonomian Amsterdam khususnya.
Jika diperhatikan lebih lama, bagian kiri dari panel kaca patri ini bercerita tentang keindahan dan kesuburan Pulau Jawa dengan flora dan fauna-nya, pada waktu itu dibuatlah jalur kereta api pertama di Nusantara yang menghubungkan antara Semarang – Solo – Yogyakarta pada tahun 1873 yang tentunya melewati wilayah yang indah dan permai sepanjang perjalanan tersebut.
Sementara itu pada panel kanan atas menceritakan tentang dua kota besar penyokong perekonomian Amsterdam, yakni Semarang & Batavia, pada masa itu di dua kota inilah terletak pelabuhan besar yang menghubungkan Nusantara dan Negeri Belanda, dari kedua pelabuhan inilah komoditas terbaik di dunia di angkut dan kemudian untuk dijual demi kemakmuran Amsterdam pada khususnya dan Negeri Belanda pada umumnya.
Bagian tengah yang merupakan bagian terbesar bercerita tentang bandar bandar terbesar di Nusantara yakni Semarang dan Batavia, betapa kuat nya mereka sebagai pintu masuk ke Nusantara bahkan sejak jaman Mataram Kuno, Terdapat lambang kota Semarang dan kota Batavia mengapit lambang kerajaan Belanda dan gambar sepertinya buah pala.
Bagian tengah lainnya adalah bagian dimana terdapat gambar roda kereta apri bersayap, yang merupakan simbol dari perusahaan jawatan kereta api pada masa itu, menggambarkan pergerakan dan teknologi pada saat itu, roda terbang tersebut diapit oleh dua perempuan bermata sayu, yang merpakan simbol dari Dewi Fortuna atau Dewi Keberuntungan dan Dewi Venus yang menggambarkan kasih sayang dan cinta, dan hal ini merupakan simbol dari Ibu Pertiwi.
Kaca patri ini di produksi disebuah kota di Negeri Belanda bernama Delft oleh seorang seniman kaca patri terkenal pada saat itu yakni J.L. Schouten dari studio seni kaca patri T. Prinsenhof pada awal tahun 1900an.
Go and find yourself dreaming and wandering by looking at this majestic artwork, best time to go is early morning, when there are still few people and when the sun rays bursting into this stained-glass panels, simply stunning…may this building lived forever!
Highlight tamasya ke Jogja adalah menemukan rumah-rumah tua dengan cerita dibaliknya…there are plenty of old houses in Yogyakarta, some pretty lucky as the owner really taking care of it some can be so unlucky, this makes me sad…
Jalan Poncowinatan, begitu namanya…jalanan ini terletak di tengah kota dan cukup sibuk karena ada banyak bisnis disini, terlihat dari lalulintas dan berbagai toko banyak terlihat, ada 2 rumah that struck my sight…pertama adalah rumah Belanda yang besar dan nampak luas…memberanikan diri seperti biasa breaking & entering the house 🙂 dan kami cukup terpukau dengan skala dan arsitektur juga detail dari bangunan ini.
Rumah Tua di Jalan Poncowinatan
Ternyata bangunan ini sekarang berfungsi sebagai gudang PT. Jamu Sido Muncul, mungkin bangunan Belanda ini didirikan pada tahun 1929 seperti angka yang tertera di bangunan tambahan disebelah bangunan utama diatas, bangunan ini cukup eklektik dengan menggabungkan gaya Art Nouveau dan Art Deco seperti terlihat pada pengulangan detail di service area di bagian belakang yang sangat Art Deco dan detail lantai yang sangat Art Nouveau.
Rumah tua Jalan Poncowinatan, terlihat di gedung kanan tertera tahun didirikan banguan 1929
Sayang, rumah ini hanya dijadikan gudang penyimpanan barang belaka, sengan manager gudang yangcukup galak hahaha…beruntung para pekerja lainnya sangat ramah, jadi sebelum ketauan sang manager, Saya udah foto sana sini 🙂
Terdapat beberapa bagian gedung di area bangunan tua ini, rumah utama, rumah tambahan di sisi kanan dan di bagian belakang terdapat service area bahkan masih bisa dilihat sebuah sumur tua yang memakai hiasan baja yang cantik sepertinya pada jamannya.
Dibawah ini adalah detail bagian dalam rumah utama, yang bergaya simetris, dengan lantai tegel tua yang memiliki motif atau pattern yang sangat indah.
Detail bagian dalam rumah utama
Service area, nampak emangadaptasi pengulangan gaya Art Deco, nampak koridor tersebut dipenuhi dengan beberapa ruangan-ruangan bersekat, mungkin dahulunya adalah berupa kamar-kamar bahkan dapur.
Detail yang menarik adalah terdapat pada lantai teras depan, sangat Art Nouveau, dengan motif tegel yang berupa tetumbuhan dan garis garis yang meliuk-liuk, sepertnya sangat indah pada jamannya.
Penemuan lain yang sangat menarik adalah sebuah rumah yang merupakan toko buku bernama Manggala masih di Jalan Poncowinatan, rumah bergaya Kolonial dan Peranakan ini terlihat sangat tua, rumah bertingkat dengan atap genteng ini sekarang walaupun toko buku tetapi banyak menjual mainan anak, dari era 80an hingga sekarang (walau lebih banyak 80an nya), disambut oleh seorang wanita paruh baya yang baik hati, bahkan beliau mempersilahkan untuk masuk ke dalam rumah jika ingin melihat-lihat.
Yang menarik dari rumah ini salah satunya adalah yang menjaganya, yakni seorang mantan atlet Tenis Meja Nasional bernama Ibu Mei, yang merupakan masih keponakan pemilik terakhir umah ini, sekarang rumah ini sudah mereka serahkan ke yayasan gereja dikarenakan sudah tidak ada keturuanannya yang bersedia menjaga atau tinggal di rumah indah ini, semua brang brang tua di rumah ini bahkan di jual, ada satu ranjang antik di kamar utama yang sangat indah yang sekarng ranjang ini milik teman instagram saya yakni mas Sigit dari @vintage_colony
Semoga rumah di Jalan Poncowinatan ini bisa tetap lestari.
I’ve been traveling quiet a bit by the end of 2017, yet I haven’t post anything, due to laziness 🙂
However my end of year trip was one of those trip I would remember for the rest of my life, trip that feed your soul, trip to Lasem a small city in northern part of Central Java.
It has been such a long time I have never been write something here on my blog, life’s been boring 🙂 well not really, I have been so lazy that’s all.
Bali now just a lil’ bit mourn due to the eruption of Mount Agung recently, the media as well as the people blow up made this island very quiet now, not so many people coming, business been bad for the past couple of weeks.
Meanwhile, Bali is actually super safe, still many many and many things to do, you can still go for party and just relaxing by the beach.
Anyhow, now I am back in the island, my HOME…after more than 15 days of traveling, always good to be back HOME…seeing familiar faces and all, back to my fave breakfast place near my house and day dream, what else lah!
Rena’s Kitchen & Coffee
Ah super random today, day dreaming of having a small cafe, no office lyfe (this one only just a wish that perhaps I have to be super patient till I have no debts anymore hahahaha), making clothes, a bit of traveling…ah well would be such a fine plan, isn’t it?
Today is Saturday, just another kinda Saturdays, no plans only daydreams…
Kali ini ada yang sedikit berbeda karena Saya juga tamasya ke salah satu pantai yang ada di Yogyakarta, udah lama sih Saya dengar kalau pantai-pantai disini indah, cuman saja suka ragu karena Saya tinggal di Bali, dan selalu berpikir ngapain juga yah main-main ke pantai, rumah aja cuman 10 menit ke pantai jaraknya?
Jam 7 pagi kita berangkat ke pantai yang jaraknya hanya 1.5 jam dari Prawirotaman, sepanjang perjalanan disajikan banyak pemandangan bukit-bukit terhampar luas, desa-desa khas Jawa dan bukit-bukit berbatu dan akhirnya kita sampai ke pantai yang relatively very quiet, called Pantai Watu Lawang yang letaknya berada setelah Pantai Indrayanti.
We picked the secluded one, resto yangberada di ujung yang rupanya yang punya kenal dengan salah satu sahabat Saya, it was one fine morning, the temperature bit chill but there was always sun, we were having a laid back morning back then, until we had this feast by the beach…makan-makan di pinggir pantai, cah kangkung 2 porsi, cumi oseng pedas, udang asam manis, 2 ekor ikan cakalang dibakar bumbu kecap, oseng oseng kampung dan kelapa muda…oh my…heaven…and it was only for IDR 125.000 for the 4 of us!!
Kalau pergi ke Pantai enaknya emang jalan pagi sekali dan jam 12 an udah balik lagi ke kota yah, pas jam nya…balik ke kota cari pisang goreng di Aroma Cafe di area Kasongan, a lovely “warung” overlooking the rice paddies, angin semilir sambil makan pisang goreng dan ngobrol-ngobrol atau sekedar bengong.
Hal lain yang dilakukan di Yogyakarta kemarin adalah jalan ke area Pecinan, area Pecinan ini terdapat di Jalan Malioboro, kalau kita jalan mengarah ke Benteng Vredeburg atau ke arah Pasar Beringhardjo, nah sebelum pasar kita akan menemukan sebuah gedbang besar bergaya Cina, tertulis disitu Kampoeng Ketandan.
Kampoeng Ketandan, Pecinan di Yogyakarta
Keberadaan etnis Tionghoa usah ada di Yogyakarta lebih dari 200 tahun, mereka bermukim di area yang disebut juga Pecinan, salahsatunya di Ketandan, Beskalan & Pajeksan, banyak terdapat rumah rumah toko bergaya Tionghoa terutama terlihat dari bentuk atapnya yang menurun, warna-warna terang juga ornamen-ornamen lainnya.
Kampoeng Ketandan, Yogya
Kampoeng Ketandan, Yogya
Seperti biasa karena Saya tinggal di area Prawirotaman, tentu Saya selalu menyempatkan untuk berjalan-jalan di Jalan Tirtodipuran, melihat-lihat rumah tua dan ngopi sore di Ruang Seduh dan makan tentunya di Bu Ageng resto milik Butet Kertaradjasa. Jalan Tirtodipuran ini less crowded compare to Prawirotaman, many old colonial houses still in a very good condition, two of them are massively built in the middle of this quiet street, ada beberapa rumah yang saya sempat abadikan, seperti berikut ini.
Rumah Tua di Jalan Tirtodipuran YogyakartaRumah Tua Jalan Tirtodipuran Yogyakarta
Gak lengkap rasanya kalau ke Tirtodipuran gak mampir ke Ruang Seduh, with its clinical look, ini semacam laboratorium kopi, duduk di luar sambil menikmati sore yang kala itu udara juga tidak panas.
Ruang Seduh Yogya
Ruang Seduh Yogya
Ruang Seduh Yogya
Ada sebuah tempat dimana kita bisa makan, ngobrol, bahkan melihat-lihat karya seni dan buku, bernama Kedai Kebun Forum, tempat yang rimbun dengan dedaunan, dan rimbun dengan mural bergambar muka manusia atau tokoh dalam bentuk komik, ini adalah sebagian snap shots yang Saya rekam di iPhone.
Selalu menyenangkan berjalan-jalan disini, sambil daydreaming suatu hari nanti punya rumah tua disini and we convert this house into a beautiful guest house, I will keep those dream sampai jadi kenyataan…Amen! 🙂
Kalau ditanya dimana lagi Saya bisa tinggal selain di Pulau Bali yang ter-amat Saya cintai ini, jawabannya adalah Yogyakarta! I don’t know why, every time I made a visit to this ancient town, walaupun datang ke tempat yang sama, tapi cerita dan rasa selalu berbeda, dan selalu menyenangkan.
Kali ini Saya ke Jogja seperti biasa karena dorongan impulsive Saya untuk traveling karena ada long weekend Idul Adha, dan kembali Saya memutuskan untuk stay di area Prawirotaman, walaupun sebelumnya Saya memikirkan untuk stay di area Patangpuluhan bahkan area dekat Kraton dikarenakan ada beberapa pilihan hotel yang Saya suka (Yats Colony) dan ingin dicoba (The Patio Guest House).
Hotel Adhisthana kembali jadi pilihan Saya untuk 3 malam di Jogja, this time I got a room on 3rd floor and it’s Deluxe room, located in a vibrant area called Prawirotaman dimana biasanya para turis asing flocked in, hotel ini memang sangat menyenangkan untuk ditinggali, plus design kamarnya yang menyenangkan disominasi warna deep blue, warna yang dipercayai bisa bikin tidur nyenyak, motif-motif batik tanpa terkesan tacky, and they painted the walls in white!
Inner courtyard at Hotel Adhisthana
Hotel Adhisthana Yogya
Headboard with Batik Pattern as well as on the pillow case
Home accessories on point at the guest reception area
Blind Curtain with Batik Pattern
Tamasya ke Jogja kali ini diisi (seperti biasa) dengan leyeh leyeh, leyeh leyeh dan leyeh leyeh hahaha…well lots of walking actually, ke pantai di area Selatan, pergi cari kain Lurik, dan tentunya melihat-lihat rumah rumah dan bangunan tua di Jogja.
Mari kita mulai dari Kraton Yogyakarta…
Bincang Siang di Bale Roto, Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat
Saya sudah beberapa kali ke Kraton Yogya, dan kali ini yang Saya lakukan hanya melihat-lihat dari luar dan area sekitar Kraton dengan tembok-tembok nya yang tebal dan tinggi, berbeda dengan tiap pergi ke Kraton, Saya mendatangi Kraton dengan tidak sengaja, berawal dari brunch makanan khas Yogyakarta yaitu brongkos di Warung Handayani di daerah Alun Alun Kidul kemudian dilanjutkan dengan jalan santai di area ini, pertama tentu saja melintasi dua beringin besar di Alun Alun Kidul ini, very beautiful banyan trees, ada beberapa orang yang sedang mencoba peruntungan untuk berjalan melintasi dua beringin besar ini dengan mata yang ditutup sehelai kain, ada juga yang memang berteduh saja disana dan tertawa-tawa memperhatikan mereka.
Dua Beringin Besar di Alun Alun Kidul
Diseberang Alun Alun Kidul terdapat sebuah gedung besar bertuliskan Sasono Hinggil Dwi Abad bergaya Art Deco yang selalu ingin Saya masuki dan ternyata boleh dimasuki dengan bebas mungkin dikarenakan ada toilet umum disitu, gedung ini didirikan untuk memperingati Dwi Abad berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (1756 – 1956).
Sekarang tempat ini dijadikan tempat untuk berbagai pertunjukkan bahkan tempat untuk rapat besar.
Sasono Hinggil Dwi Abad
Di sisi kanan dan kiri Sasono Hinggil Dwi Abad ini terdapat jalan atau gang besar yang mengelilingi gedung, dan tepat di belakang gedung terdapat sebuah gerbang besar, pada waktu itu Saya dan teman sempat ragu untuk masuk, dikarenakan kita berpikir pasti itu area adalah area parkir, kemudian Saya melongok ke dalam dan di sebuah area yang besar tersebut terdapat sebuat pendapa ditengah-tengah terbuat dari kayu, dan disisi kiri terdapat tempat berlatih panahan.
Magnificent Gate connecting to Kraton from Alun Alun Kidul
Kemudian kami berjalan terus memasuki lapangan berpendapa ini sampai lah kami di gerbang selanjutnya, dan penghuni di lapangan ini yang ramah mempersilahkan untuk masuk ke gerbang ini jika kami ingin tau ada apa dibelakang benteng, dan ternyata ini adalah pintu belakang dari Kraton Yogya, knowing that this one is the back entrance, we literally have this gate for ourselves, there was nobody here except the inhabitants oh this area, and we just simply amazed with the structure, berjalan diantara tembok besar, membayangkan jaman dahulu ketika kerajaan ini berjaya, sangat indah.
The Back Entrance of Kraton Yogya
Details On The Back Entrance
Dari tembok besar itu tibalah kami di sebuah area dimana terdapat beberapa orang Abdi Dalem yang sedang membuat gunungan untuk Garebeg Besar keesokan harinya tanggal 2 September dalam rangka Idul Adha, di area ini kembali terdapat sebuah pendapa dalam ukuran sedang, yang sepertinya digunakan untuk kegiatan bakti jika ada upacara, di kiri ada jalan yang menuju ke area publik juga terdapat restoran yang bernama Bale Raos, setelah pendapat tersebut terdapat pohon beringin lebat yang membuat area ini terlihat adem dan teduh, disitu pula terdapat gerbang lain dan juga tempat istirahat para Abdi Dalem Kraton, gerbang ini dinamakan Bale Roto, gerbang bagian belakang dari Kraton Yogya, gerbang berwarna hitam ini dijaga oleh para Abdi Dalem, dan kami sempat berbincang dengan salah satu dari mereka dan bertanya tentang tulisan yang tertera di atas gerbang ini, Bale Roto.
Abdi Dalem Kraton di Bale Roto
Bale Roto
Bale Roto
Menyenangkan sekali beristirahat dan menikmati area Bale Roto ini, sepi, adem dan nampak sangat indah walaupun sederhana karena tidak semegah pintu masuk utama Kraton.
Best friends stayed over, rolling around the island, lots of laughs and bullies, all and all weekend is always a good idea…here are some discoveries and stories from last weekends…
Newest and hippest to be boutique hotel just recently opened for business, located in Seminyak area (where else?!) hotel ini merupakan additional hotels to IHG (InterCOntinental Hotels Group) in Bali, namanya Hotel Indigo Bali, waktu saya kerja di IHG dulu, Saya selalu berfikir bahwa hotel ini adalah hotel dengan konsep yang sangat “cool”, karena they are trying to present a particular culture where the hotel itself located, contoh nya kalau di Seminyak, yah budaya/gaya hidup “Seminyak” nya yang ditonjolkan.
This is such a cool hotel indeed, design nya sangat dipikirkan, lobby lounge nya very strikingly beautiful, terinspirasi dari Bale Banjar, design nya sangat eklektik, campur-campur tapi sangat harmonis, berbagai tempat duduk yang berbeda, lampu gantung yang terinspirasi dari “bubu” alias sankar untuk menangkap ikan di Bali/Indonesia, once you stepped into this huge lobby from afar you will see the ocean, Pantai Double Six atau lebih ke arah Pantai Gado Gado sih…
Hotel Indigo Bali, Lobby Lounge
Unsur kayu sangat kuat ditampilkan distruktur bangunannya, even they have a cool reception area for guests to check in dengan meja motif “poleng”, very awesome!
Hotel Indigo Bali, Lobby Lounge
Hotel Indigo Bali, Lobby Lounge
Some details at the lobby also pretty interesting, sangat instagenic!
Hotel Indigo Bali, Lobby Lounge
Details on the wall at the Lobby Lounge
Ah well, our weekend ended hanging out by the beach at Segara Village Resort in Sanur, and we did sort of taking pictures nyontek blogger-blogger jaman sekarang 🙂 Thanks Lisyeu for your stunning pictures HAHAHA…